Monday, October 22, 2012

Complicated - 1

Ring... Ring...
Ponsel Elina berbunyi pukul 22.30. Ada satu pesan diterima. Dengan muka lelah, Elina membuka sms itu.
From : Piphy
Mhy, udah tidur?


Tersungging senyum di wajah Elina ketika membaca sms itu. Hanya dengan membaca sms tersebut, ia sudah merasa lega karena cowok yang telah dipacarinya selama hampir 3 tahun itu, ngga pernah luput memberi perhatian. Namanya Kenzie. Meskipun, setahun terakhir ini, hubungan yang mereka jalin adalah Long Distance Relationship.
Message sent. Elina merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Memikirkan cowok yang disayanginya sedang apa sekarang disana.

Terlalu banyak ujian yang telah mereka hadapi. Dimulai dari restu orang tua, perjodohan sepihak, putus nyambung dan kebohongan. Mereka telah melalui semuanya. Sekarang, kondisi mereka yang jarak jauh pun mereka anggap sebagai ujian. Elina dan Kenzie menganggap, ini semua sebagai jalan untuk menempuh keutuhan hubungan mereka ke depannya nanti. Oleh karenanya, sekuat apapun angin menerpa pohon kelapa mereka, mereka akan terus bertahan dan menopang pohon itu supaya ngga tumbang.
to be continued...

To : Piphy
Lom Phy, Mhy lum tidur. Udah pulang ya?
Ngga lupa makan kan? :)

Kenzie udah setahun ini bekerja di distro keluarga. Dia yang mendesign semua produk-produk pakaian yang dijual di sana. Karena kesibukannya itu, hampir setahun ini komunikasi diantara keduanya terganggu. Namun, mereka berdua percaya mampu ngelewatin ini dan berharap ini hanya segelintir ujian agar hubungan mereka awet hingga waktunya tiba.

From : Piphy
Udah Mhy, udah makan juga kok
Lom tidur? Nungguin ya? Maaf ya Mhy..
Mimhy selalu nunggu Piphy sampai larut malem gini.. Mimhy gpp kan?

To : Piphy
Phy, ngomong apa sih? Mimhy sayang ma Piphy..
Udah resiko kalo kita jalanin hubungan kayak gini..
Mimhy gpp kok :) , Phy cape’ ya?

From : Piphy
:) makasih ya Mhy.. Piphy juga sayang Mimhy..
Sayang banget.. :)
Iya sih, cape’.. tapi gpp kok.. asal bisa tau kabar Mhy hari ini, Phy udah seneng

Begitulah yang Elina dan Kenzie lakukan hampir setiap malam. Mereka menjaga komunikasi diantara keduanya dengan sms dan telpon secara berkala. Namun, akhir-akhir ini, Kenzie mengakui kalo dia menjadi lebih sibuk dari biasanya, sampai-sampai waktu untuk Elina hanya bisa dihitung jari. Setiap hari, entah kenapa Elina merasa ia semakin jauh dari Kenzie. Entah Kenzie yang menjauh atau Elina yang menjauh. Namun Elina selalu berpikir bahwa ini mungkin hanya perasaannya saja.
Hanya beberapa kali mereka ber-sms ria, kemudian Kenzie pamit tidur.  Elina hanya bisa menghela nafas. Ia merasa semakin hari, berpikir seperti berpacaran dengan kelelawar. Bahkan sempat berpikir, seandainya kelelawar itu bisa berubah jadi vampire seperti Edward Cullen dalam film trilogi Twilight, ia pasti bahagia. Tapi sayangnya, Kenzie bukan manusia kelelawar. Elina tertawa dalam hati. Mikir apa aku ini? Pikirnya dalam hati.
Aktifitas Elina sehari-hari adalah menjadi mahasiswa. Mahasiswa semester 3 di salah satu perguruan tinggi swasta Surabaya. Dia tinggal dengan Tantenya yang rumahnya cukup dekat dengan kampusnya. Tapi karena Tante-nya sering ke luar kota menemani Oom-nya melakukan perjalanan bisnis, akhirnya Elina hanya tinggal sendiri di rumah Tante-nya itu awalnya. Sempat Tantenya itu mengizinkan Elina mengajak teman-teman kuliahnya menginap atau bahkan tinggal disana untuk menemani dia dengan gratis. Karena Tantenya merasa nggak mampu menemani keponakan tersayangnya itu setiap waktu.
Di rumah Tantenya itu, Elina mengajak sahabat kentalnya Axel. Axel mengenal Elina sejak kelas XI sma. Sejak awal berkenalan, Elina sudah merasa nyaman dengan Axel. Oleh karena itu, ngga perlu pikir panjang untuk  mengajak Axel tinggal bersama. Axel dengan senang hati bersedia tinggal dengan Elina, karena kost yang sempat ditinggali Axel membuatnya ngga nyaman dan memang dia sempat ingin pindah.
Keesokan paginya, pintu kamar Elina diketuk.
Tok!.. tok!..
“Lin..Lina.... bangun.. ada yang nyari tuh,” panggil Axel sambil terus mengetuk pintu kamar Elina. ‘Lina’ adalah panggilan akrab Elina oleh Axel.
Pintu kamar dibuka.
“Hmm, apa Li??,” sahut Elina sambil berdiri di ambang pintu kamarnya.
“Ada yang nyari tuh Lin. Orangnya lagi di ruang tamu teras,” ujar Axel yang akrab dipanggil ‘Li’ oleh Elina.
“Siapa? Cowo apa cewe Li?”
“Cewe. Udah, samperin ajah sana. Aku mau mandi dulu,” ujar Axel sambil berlalu menuju kamar mandi bawah.
Elina menguap kecil. Berjalan keluar kamar menuruni tangga menuju teras depan. Merapikan rambutnya yang masih acak-acakan khas orang baru bangun tidur. Dari jendela, Elina bisa melihat siluet sosok gadis yang sedang duduk menunggunya di kursi tamu teras depan. Sepertinya Elina pernah mengenalnya. Segera dia mempercepat langkah untuk memastikan.
“Elin..,” ujar gadis tersebut begitu Elina sudah berdiri di depan gadis itu.
“Aneila?,” sahut Elina begitu menyadari bahwa Aneila-lah yang mencarinya di Minggu pagi. Panggilan akrabnya Neila.
Neila berdiri dan memeluk Elina. Memeluk sangat lama. Melepas rindu. Aneila adalah sahabat lama Elina. Dua tahun sudah mereka ngga ketemu. Neila harus mengikuti orang tuanya ke Jakarta. Dan sekarang, kesempatan untuk bertemu kembali itu, datang.
“Elin... aku kangen banget sama kamu..,” ujar Neila sambil melepas pelukannya.
“Sama Neila, aku juga kangen sama kamu.. ngga ada kabar selama hampir dua tahun ini. Gimana kabar Oom dan Tante? Ngga ikut ke Surabaya?,” tanya Elina sambil duduk di kursi sebelah Neila.
“Mami Papi ngga ikut ke Surabaya Lin. Lagi banyak kerjaan juga di Jakarta. Kebetulan aku lagi libur kuliah tiga bulan ini. Jadi aku manfaatin buat ke Surabaya. Kangen banget sama kamu. Sempet aku nyari ke rumah kamu, tapi Tante bilang kalo kamu ikut Tante Ivy. Jadi aku langsung minta alamat Tante Ivy.”
“Hmm, sorry ya Nei, aku ngga ngasih tau kamu kalo aku pindah ikut Tante Ivy. Aku jarang buka facebook. Sejak kuliah, makin sibuk sama tugas, hehe.. kadang dosen juga kalap kalo ngasih tugas. Masuk yuk.., ngga enak di luar, di lihatin orang ntar,” ajak Elina masuk ke dalam rumah.
“Mas Parmin.., bantuin temen saya bawa koper ke ruang tamu ya..,” pinta Elina pada tukang kebunnya yang baru saja usai menyiram tanaman.
“Iya neng..” sahut Mas Parmin yang kemudian langsung mengangkat koper Aneila ke dalam ruang tamu.
Aneila dan Elina masuk ke ruang tamu dalam. Mereka mulai berbincang-bincang.
“Susah ya Nei cari rumah Tante Ivy?,” tanya Elina basa-basi.
“Lumayan sih Lin. Tapi ngga susah banget kok,” ujar Neila dan tersenyum.
“Bagus deh. Kamu dua tahun di Jakarta, tapi logat masih tetep ya. Kirain bakal manggil ‘gue’ ma ‘lo’ sama aku.”
“Haha, bisa ajah kamu Lin. Biasa ajah sih, aku nyesuain ajah. Kalo sekiranya perlu pake logat ma dialek itu kayak di Jakarta, aku mah bisa ajah. Tapi kalo di sini, kayaknya ngga pas ajah. Banyak orang Jawa, tar malah dikira alien lagi. Hehe..”
“Haha.. iya juga sih. Jadi rencana liburan kuliah tiga bulan itu mau kamu buat kemana Nei?”
“Pengen di Surabaya ajah Lin. Lama ngga di sini. Kangen sama suasananya.”
“Apa yang kamu kangenin dari Surabaya sih? Perasaan sama ajah sama Jakarta. Sama-sama panas, sama-sama rame. Meskipun emang lebih padet dan lebih rame Jakarta. Jakarta kota yang ngga pernah tidur. Kalo Surabaya sih, kayaknya masih bisa tidur deh. Hehe..”
“Ngga tau Lin. Berasa kangen ajah.”
“Hmm, terus kamu mau tinggal dimana?”
“Mau cari hotel ajah yang deket sini Lin. Biar aku bisa sering dateng nemuin kamu.” ujar Neila sambil tersenyum.
“Nei, kenapa kamu ngga tinggal disini ajah? Temenin aku sekalian. Rumah ini sepi Nei. Cuman ada aku, Li, Mas Parmin, Pak Ridwan sama Bi’ As.”
“Emang aku ngga ngerepotin Lin?”
“Ya ampun Nei, kamu ini kayak baru kenal aku ajah. Kayak sama siapa ajah sih? Nyante ajah lagi, toh Tante Ivy juga udah kenal kamu. Malah kalo Tante Ivy tau kamu lagi di Surabaya, yang ada langsung bikin pesta sambutan buat kamu.”
Aneila tersenyum lebar. Memang sejak dulu, ketika Elina dan Aneila masih bertetangga dekat, Tante Ivy senang dengan keakraban mereka berdua. Bahkan pernah muncul gurauan dari mulut Tante Ivy, seandainya Aneila bukan anak tunggal di keluarganya, pasti Tante Ivy langsung meminta ijin pada orang tua Aneila untuk mengadopsinya. Tante Ivy emang sedikit gokil.
“Hehe, bisa ajah kamu Lin. By the way, aku ngga lihat Tante Ivy dari tadi. Emang Tante Ivy kemana??,” tanya Neila.
“Emang Tante Ivy lagi ngga di Surabaya. Tante ikut Oom Aiden ke Lombok. Ada bisnis di sana. Aku sering ditinggal-tinggal kok Nei. Jadi ya gini suasana rumahnya. Sepi.”
“Ooo.. oiya, Tante Ivy udah punya anak ya? Cewe? Namanya siapa Lin?”
Elina mengerutkan kening. Berpikir sejenak, kemudian tersenyum.
“Kata siapa Tante Ivy udah punya anak? Emang sih, Tante Ivy sama Oom Aiden udah 4 tahun menikah, tapi sampai sekarang mereka masih pengen nikmatin masa pacaran pasca-nikah katanya. Jadi belom pengen punya anak.”
“Lha, terus yang tadi aku temuin waktu aku baru dateng, siapa?”
“Ooo.. itu si Li. Dia sahabatku dari SMA Nei. Yang dulu pernah main bareng waktu masih di rumah Pondok Candra.”
“Lupa Lin. Kan cuman sekali doang ketemu nya. Kirain itu anak Tante Ivy. Kemana dia sekarang?”
“Lagi mandi tuh. Biasa, kalo mandi suka lama dianya.”
“Huu, kayak kamu ngga ajah Lin,” terdenger ledekan dari arah keluar kamar mandi.
“Walah, udah kelar non? Hehe, sorry nih ngomongin kamu di belakang,” ujar Elina sambil nyengir.
“Heha..hehe.. ini mah ngga ngomongin di belakang, tapi di depan. Aku nya ajah denger, mana bisa dibilang ngomongin di belakang. Huh..” ujar Axel sambil membetulkan handuk yang membalut rambutnya.
“Iya..iya deh. Oiya Li, kenalin ini Aneila. Aneila, ini Axelia.”
“Axelia. Panggil ajah Li atau Axel. Terserah,” ujar Axel sambil tersenyum.
“Aneila,” balas Neila sambil tersenyum juga.
“Li, Aneila ini sahabat aku dari kecil. Dua tahun yang lalu dia pindah ke Jakarta. Sekarang dia lagi liburan kuliah, dan main di Surabaya. Rencana, dia bakal tinggal di sini sama kita. Ngga keberatan kan?”
“Ya ngga dong. Malah aku seneng lagi, dapet temen baru. Lagian aku juga numpang kan disini Lin. Jadi napa aku harus keberatan?,” jawab Axel dengan senyumnya. 
“Oke deh sista. Kalo gitu, Nei, kamu aku anterin ke kamarmu ya. Tar biar kopernya Mas Parmin yang bawa,” ujar Elina sambil menarik tangan Neila menuju kamar kosong yang biasanya diperuntukkan tamu, mengabaikan keluhan Neila bahwa ia tak mau menambah kerjaan Mas Parmin. Neila bilang, dia bisa membawa kopernya sendiri ke kamar, namun Elina tetap mengabaikan.


0 comments:

Post a Comment