Hujan ini semakin lebat. Sore yang tadinya cerah berubah gelap.
Petir dan gemuruh berlomba saling menyambar. Semakin lama semakin lebat dan
dingin. Ditengah hujan, ditengah jalan, aku kedinginan dan ketakutan. Aku takut
petir. Aku nggak tahu aku ada dimana. Aku nggak tahu harus naik apa agar bisa
sampai rumah kecuali taksi. Tapi nggak ada satupun yang lewat. Aku mau pulang.
Badanku semakin menggigil. Langkahku semakin melambat. Bajuku
basah kuyup. Aku berusaha mencari tempat berteduh untuk sekedar mengeringkan
badan, tapi aku nggak ngeliat satu pun pos ronda, warung atau emperan toko.
Jalanan kompleks ini sangat sepi. Bodohnya aku. Aku bener-bener buta jalan.
Nggak tau ada dimana.
Aku terus berjalan. Lambat laun aku mulai kelelahan. Aku pun
memutuskan duduk di pinggir jalan melepas lelah. Kupeluk erat kakiku, berharap
mampu menghangatkan tubuhku, namun nggak berpengaruh banyak. Kemudian dari arah
jalan, terlihat sebuah mobil berhenti. Cahaya lampunya menyilaukan mataku.
Sekilas kulihat, seseorang keluar dari mobil itu dan berjalan ke arahku. Cowok.
Tapi entah siapa. Aku nggak bisa ngeliat jelas. Mataku mulai kabur dan semua
jadi gelap. Sebelum semuanya gelap, hanya satu teriakan yang aku dengar,
“Asha??!”.
Perlahan mataku terbuka. Kepalaku masih sedikit berat. Aku
menerawang sejenak. Safety belt, dashboard, kaca..sepertinya aku ada di
dalam mobil. Dan sepertinya, cowok tadi yang membawaku masuk ke dalam mobilnya.
Tapi siapa cowok itu? Aku menoleh ke kanan untuk mengetahui siapa cowok yang
telah menolongku dan membawaku ke dalam mobilnya. Deva? Nggak mungkin! Aku
pasti cuma mimpi. Ini mungkin cuma khayalan ajah. Deva nggak mungkin.... aku
nggak percaya. Nggak mungkin dia yang.. tanpa pikir panjang lagi, aku
memanggilnya.
“Deva...,” panggilku lirih. Ternyata bukan hanya tubuhku yang
melemah, suaraku juga.
Deva yang sedang menyetir hanya menoleh dan tersenyum. Senyum itu
masih belum berubah. Masih sama seperti senyumnya yang dulu. Iya, seperti dulu.
Belum ada yang berubah, yang berubah hanya keadaan kami yang tak lagi seperti
dulu.
Aku merasakan tubuhku semakin dingin. Apa mobil ini AC-nya masih
nyala? Tubuhku masih menggigil dan masih terasa kaku. Ku tatap kaos putih yang
ku kenakan. Karena basah kuyup, kaos ini jadi transparan. Pipiku mulai terasa
panas. Aku merasa malu karena lekuk tubuhku lebih jelas terlihat. Aku berdoa
semoga Deva nggak nyadarin ini.
“Sha, lo nggak pa-pa?,” tanya Deva menatapku dengan air muka
cemas.
Dengan kondisiku saat ini, aku hanya mampu menggelengkan kepala.
Bibirku sedikit kaku. Aku pengen bilang kalo aku sangat kedinginan. Aku pengen
bilang tolong matikan AC-nya. Aku pengen bilang kalo aku malu ketemu dia dalam
keadaan seperti ini. Tapi bibirku masih kaku. Aku harus gimana. Aku harus
bilang meskipun nggak bisa dengan kata-kata.
Tanganku yang sedari tadi hanya memeluk bahuku, kini kugerakkan
untuk meraih tangan Deva, berusaha menggenggam tangannya. Please Dev, aku kedinginan. Dan aku mampu menggapai tangannya.
Tiba-tiba Deva mengerem mobilnya mendadak.
“Sha, badan lo dingin banget? Lo kedinginan? Lo kenapa nggak
bilang? Gue mati’in AC-nya ya?,” Deva nampak semakin cemas. Dia menempelkan
punggung tangannya ke keningku. Merasakan suhu tubuhku yang mungkin labil. Deva
langsung mematikan AC. Dia menurunkan sedikit kaca jendelanya, melihat ke arah
jalan seperti memperkirakan sesuatu. Kemudian menutup kembali kaca jendela dan
menginjak pedal gas dalam-dalam setelah berpindah ke gigi empat. Tangan
kanannya terus mengendalikan setir sedangkan tangan kirinya terus menggenggam
tanganku. Mobil mulai melambat di depan sebuah rumah. Rumah Deva, aku ingat
betul. Ia membunyikan klakson agar gerbang depan dibukakan. Setelah terbuka,
mobil segera masuk ke dalam garasi.
Setelah mesin mobil mati, Deva turun dari mobil dan membukakan
pintu mobil untukku. Melepas safety belt-ku
dan membantuku keluar dari mobil. Tangan kanannya melingkar erat di pinggangku
dan yang kiri mengangkat tangan kiriku ke atas bahunya. Mungkin aku sudah
terlalu lemas tapi juga terlalu kaku seperti es hingga aku terjatuh. Tanpa
berkata sepatah katapun, Deva membopongku masuk ke dalam rumahnya. Ia membawaku
ke sebuah kamar, kamar tamu. Dia merebahkanku di atas tempat tidur dan menarik
selimut untukku. Aku tersanjung. Dulu, Deva nggak pernah memperlakukanku
seperti ini. Ingin rasanya aku ngucapin terima kasih ke dia, tapi kaku di
bibirku belum juga hilang. Namun aku berusaha mengucapkannya. Aku udah
ngerepotin dia. Ketika aku sudah hampir berhasil membuka mulutku, ia meletakkan
telunjuknya di bibirku dan menggeleng.
“Udah, lo nggak perlu ngomong apa-apa dulu. Lo masih butuh banyak
istirahat Sha. Baju lo keliatannya basah banget. Di lemari udah disediain
piyama buat tamu. Cari ajah yang pas buat lo, terus lo ganti baju lo itu. Untuk
sementara, keringin baju lo di balkon situ. Daripada terus pake baju itu, lo
malah jadi sakit. Sekarang gue ke garasi dulu, tas lo masih di mobil gue.
Sekarang lo ganti gih. Selesai ganti, lo istirahat..,” ujar Deva lalu
mengusap-usap kepalaku dan keluar kamar.
Deva. Dia adalah cinta pertamaku, pacar pertamaku dan mantan
pertamaku. Yah, mantan. Itulah alasannya kenapa dari tadi aku selalu berkata
“dulu”. Aku mengenalnya saat aku dan dia duduk di bangku SMA. Dan kami
berpacaran di pertengahan tahun pertama. Kata orang jawa, “tresna jalaran saka kulina” dan itulah yang terjadi padaku dengan
Deva. Tapi itu semua hanya sebentar dan semuanya berakhir dengan cukup
menyakitkan.
Aku berdiri dari tempat tidur. Aku membuka lemari dan mencari satu
dari tumpukan piyama dan baju yang ada di dalamnya. Dan pilihanku jatuh pada
piyama biru berhias ombak dan rumput laut. Aku masuk ke kamar mandi. Menyalakan
kran air hangat dalam bathtub.
Menanggalkan semua pakaianku dan berendam. Aku sedang tidak mampu berpikir.
Pikiranku seperti benang kusut. Aku menenggelamkan seluruh tubuhku, berharap beberapa
pikiranku yang berat menguap. Tapi meskipun beberapa masalah perlahan menguap,
namun aku masih bertanya-tanya, gimana Deva ada di jalan itu? Seakan dia
datang, dikirim hanya untuk menolongku. Ada tanda tanya besar bersarang di
kepalaku. Kenapa aku dipertemukan lagi dengan Deva?
Aku memunculkan kepalaku ke permukaan. Aku mulai susah bernafas.
Dan aku mulai berpikir lagi. Terus terang, udah setahun lebih aku nggak ketemu
lagi dengan dia. Bukan karena setelah kami putus, aku dan dia musuhan dan nggak
mau ketemu, tapi setelah hari kelulusan itu, aku udah nggak ngeliat Deva lagi.
Aku mulai sibuk ngurusin kuliah, tapi entah dengan Deva. Kuliah kah? Kerja?
Atau hanya mondar-mandir keluar-masuk rumahnya yang besar ini? Entahlah, aku
udah nggak pernah dengar kabarnya sejak lulus.
Setelah merasa mendingan, aku keluar dari rendaman, mengeringkan
tubuhku dengan handuk, membuka kran pembuangan dan mengenakan piyama biru tadi.
Aku mendengar grendel pintu terbuka. Perlahan aku keluar dari kamar mandi. Deva
sepertinya terkejut tapi dia mencoba mengontrol emosinya. Dan dia terus
menatapku.
“Ini tas lo Sha. Lo udah mendingan?,” tanyanya sambil tersenyum.
Aku hanya tersenyum. Aku berjalan menuju balkon untuk menjemur
bajuku seperti usulannya. Deva menghampiriku. Aku mencium aroma Hugo XY.
Ternyata ada satu hal yang berubah dari dia. Seleranya. Dulu, favoritnya adalah
Casablanca Homme. Mungkin pacarnya yang sekarang menyukai parfum Hugo XY itu.
“Gue kangen lo Sha,” ujarnya begitu tepat berdiri di belakangku.
Aku menoleh. Kaget. Tapi aku berusaha menjaga emosiku. Entah
kenapa degup jantungku terasa lebih cepat dari biasanya ketika berada sedekat
ini dengannya. Namun aku masih mampu tersenyum.
“Thanks Dev, lo udah
nolongin gue. Sorry kalo gue
ngerepotin lo,” ujarku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Deva berjalan menuju pagar balkon dan berdiri disampingku, namun
pandangannya lepas. “Nggak perlu say
thanks ke gue. Gue ikhlas nolongin lo. Tadi juga kebetulan lewat. Lo juga
nggak perlu ngerasa ngerepotin gue karena lo nggak ngerepotin sama sekali,”
sahutnya tanpa menatapku dan masih memandang hujan.
Ya Allah, Deva sama sekali nggak natap aku. Apa ucapan kangennya
tadi hanya untuk basa-basi? Apa itu hanya untuk membuatku besar kepala? Kenapa
dia berbicara tanpa menatapku? Apa dia benar-benar membenciku? Tapi kenapa dia
menolongku? Dia bilang dia ikhlas dan dia kangen sama aku? Deva, apa kamu mulai
mencintaiku? Sampai sekarang aku masih belum ngerti, apa yang ada di benakmu
Dev.
“Dev...,” aku mencoba membuka obrolan.
“Hm...,” hanya itu sahutannya.
“Dev, lo masih ngebenci gue? Kalo iya, kenapa lo tolongin gue?
Kenapa lo nggak ngebiarin gue mati kedinginan?,” aku menanyakan sesuatu yang
aku takutkan.
Deva menoleh heran. Dahinya mengerut tak mengerti. Mungkin dia
kaget dengan pertanyaanku. Tapi aku harus dapatin jawabannya.
“Kenapa lo mikir gitu Sha?,” tanyanya.
“Hh..., mungkin ajah. Karena mata lo nggak bisa bohongin gue,” aku
berpendapat.
“Mata gue? Maksud lo?,” tanyanya nggak ngerti atau pura-pura nggak
ngerti.
“Lo ngomong sama gue tapi yang lo pandang bukan gue, malah hujan.
Lo benci kan sama gue?”
“Sha, gue nggak mandang lo, bukan berarti gue benci sama lo. Gue
Cuma...,” Deva nggak ngelanjutin omongannya. Mungkin dia memang membenciku.
Haduh..., harusnya aku tahu itu dan nggak ngarepin dia.
“Udahlah Dev, gue tau kok lo ngebenci gue. Lo nggak perlu
ngejelasin apapun. Gue ngerti kok. Sekali lagi, thanks lo udah nolong gue malam ini dan udah ngizinin gue nginep di
kamar tamu. Gue janji, setelah baju gue kering besok pagi dan badan gue pulih,
gue bakal langsung pulang kok. Lo juga nggak perlu repot-repot nganterin gue.
Gue bisa sendiri,” ujarku lalu berjalan menuju tempat tidur, merebahkan diri.
Ada apa denganku?? Mungkinkah perasaan itu masih terjaga utuh di
hatiku? Kukira aku mampu ngelupain Deva. Tapi kenapa ketika aku bertemu dia,
kejadiannya malah kayak gini?? Nggak! Udah cukup dia pernah buat aku sakit hati
dan aku nggak mau disakitin oleh orang yang sama lagi.
Deva membuntuti langkahku. Dia duduk di pinggir tempat tidur dan
berkata, “Sha, gue cuma nggak sanggup kalo ngeliat mata lo.”
“Maksud lo?,” aku bener-bener nggak ngerti.
“Gue...gue kangen lo Sha. Sejak kita lulus, gue nggak pernah
ketemu lo lagi. Dan gue masih nggak percaya kita sekarang ketemu, bahkan gue
ngobrol sama lo sekarang. Waktu memang sebuah misteri,” jawabnya.
Terkejut. Satu kata itu yang mampu mengekspresikan sikapku. Namun
aku masih meredam hatiku. Aku nggak boleh besar kepala dan ke-GR-an. Jangan
terlalu ngarep Asha! Warningku dalam
hati. Aku emang nggak boleh berharap lagi. Mungkin Deva hanya kangen ajah.
“Dev, lo bisa tinggalin gue? Gue pengen istirahat. Capek. Sorry kalo kesannya gue ngusir lo,”
pintaku pada Deva sambil menarik selimut dan membelakangi Deva.
Aku masih mampu mendengar desah nafasnya yang panjang. Nggak lama,
aku mendengar pula derap kakinya yang perlahan menjauh dan diakhiri dengan
suara pintu kamar yang tertutup. Deva udah keluar. Aku masih unbelievable dengan ucapannya. Aku
masih butuh waktu untuk mencerna peristiwa hal ini. Aku memejamkan mata berusaha
menahan air mataku. Maafin aku Dev, sekarang semuanya udah terlambat untuk
diperbaiki. Dan aku pun terlelap berhiaskan air mata jatuh ke pipiku.
*to be continued*
0 comments:
Post a Comment