Monday, October 22, 2012

He's Back - 01


Hujan ini semakin lebat. Sore yang tadinya cerah berubah gelap. Petir dan gemuruh berlomba saling menyambar. Semakin lama semakin lebat dan dingin. Ditengah hujan, ditengah jalan, aku kedinginan dan ketakutan. Aku takut petir. Aku nggak tahu aku ada dimana. Aku nggak tahu harus naik apa agar bisa sampai rumah kecuali taksi. Tapi nggak ada satupun yang lewat. Aku mau pulang.
Badanku semakin menggigil. Langkahku semakin melambat. Bajuku basah kuyup. Aku berusaha mencari tempat berteduh untuk sekedar mengeringkan badan, tapi aku nggak ngeliat satu pun pos ronda, warung atau emperan toko. Jalanan kompleks ini sangat sepi. Bodohnya aku. Aku bener-bener buta jalan. Nggak tau ada dimana.
Aku terus berjalan. Lambat laun aku mulai kelelahan. Aku pun memutuskan duduk di pinggir jalan melepas lelah. Kupeluk erat kakiku, berharap mampu menghangatkan tubuhku, namun nggak berpengaruh banyak. Kemudian dari arah jalan, terlihat sebuah mobil berhenti. Cahaya lampunya menyilaukan mataku. Sekilas kulihat, seseorang keluar dari mobil itu dan berjalan ke arahku. Cowok. Tapi entah siapa. Aku nggak bisa ngeliat jelas. Mataku mulai kabur dan semua jadi gelap. Sebelum semuanya gelap, hanya satu teriakan yang aku dengar, “Asha??!”.
Perlahan mataku terbuka. Kepalaku masih sedikit berat. Aku menerawang sejenak. Safety belt, dashboard, kaca..sepertinya aku ada di dalam mobil. Dan sepertinya, cowok tadi yang membawaku masuk ke dalam mobilnya. Tapi siapa cowok itu? Aku menoleh ke kanan untuk mengetahui siapa cowok yang telah menolongku dan membawaku ke dalam mobilnya. Deva? Nggak mungkin! Aku pasti cuma mimpi. Ini mungkin cuma khayalan ajah. Deva nggak mungkin.... aku nggak percaya. Nggak mungkin dia yang.. tanpa pikir panjang lagi, aku memanggilnya.
“Deva...,” panggilku lirih. Ternyata bukan hanya tubuhku yang melemah, suaraku juga.
Deva yang sedang menyetir hanya menoleh dan tersenyum. Senyum itu masih belum berubah. Masih sama seperti senyumnya yang dulu. Iya, seperti dulu. Belum ada yang berubah, yang berubah hanya keadaan kami yang tak lagi seperti dulu.
Aku merasakan tubuhku semakin dingin. Apa mobil ini AC-nya masih nyala? Tubuhku masih menggigil dan masih terasa kaku. Ku tatap kaos putih yang ku kenakan. Karena basah kuyup, kaos ini jadi transparan. Pipiku mulai terasa panas. Aku merasa malu karena lekuk tubuhku lebih jelas terlihat. Aku berdoa semoga Deva nggak nyadarin ini.
“Sha, lo nggak pa-pa?,” tanya Deva menatapku dengan air muka cemas.
Dengan kondisiku saat ini, aku hanya mampu menggelengkan kepala. Bibirku sedikit kaku. Aku pengen bilang kalo aku sangat kedinginan. Aku pengen bilang tolong matikan AC-nya. Aku pengen bilang kalo aku malu ketemu dia dalam keadaan seperti ini. Tapi bibirku masih kaku. Aku harus gimana. Aku harus bilang meskipun nggak bisa dengan kata-kata.
Tanganku yang sedari tadi hanya memeluk bahuku, kini kugerakkan untuk meraih tangan Deva, berusaha menggenggam tangannya. Please Dev, aku kedinginan. Dan aku mampu menggapai tangannya. Tiba-tiba Deva mengerem mobilnya mendadak.
“Sha, badan lo dingin banget? Lo kedinginan? Lo kenapa nggak bilang? Gue mati’in AC-nya ya?,” Deva nampak semakin cemas. Dia menempelkan punggung tangannya ke keningku. Merasakan suhu tubuhku yang mungkin labil. Deva langsung mematikan AC. Dia menurunkan sedikit kaca jendelanya, melihat ke arah jalan seperti memperkirakan sesuatu. Kemudian menutup kembali kaca jendela dan menginjak pedal gas dalam-dalam setelah berpindah ke gigi empat. Tangan kanannya terus mengendalikan setir sedangkan tangan kirinya terus menggenggam tanganku. Mobil mulai melambat di depan sebuah rumah. Rumah Deva, aku ingat betul. Ia membunyikan klakson agar gerbang depan dibukakan. Setelah terbuka, mobil segera masuk ke dalam garasi.
Setelah mesin mobil mati, Deva turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untukku. Melepas safety belt-ku dan membantuku keluar dari mobil. Tangan kanannya melingkar erat di pinggangku dan yang kiri mengangkat tangan kiriku ke atas bahunya. Mungkin aku sudah terlalu lemas tapi juga terlalu kaku seperti es hingga aku terjatuh. Tanpa berkata sepatah katapun, Deva membopongku masuk ke dalam rumahnya. Ia membawaku ke sebuah kamar, kamar tamu. Dia merebahkanku di atas tempat tidur dan menarik selimut untukku. Aku tersanjung. Dulu, Deva nggak pernah memperlakukanku seperti ini. Ingin rasanya aku ngucapin terima kasih ke dia, tapi kaku di bibirku belum juga hilang. Namun aku berusaha mengucapkannya. Aku udah ngerepotin dia. Ketika aku sudah hampir berhasil membuka mulutku, ia meletakkan telunjuknya di bibirku dan menggeleng.
“Udah, lo nggak perlu ngomong apa-apa dulu. Lo masih butuh banyak istirahat Sha. Baju lo keliatannya basah banget. Di lemari udah disediain piyama buat tamu. Cari ajah yang pas buat lo, terus lo ganti baju lo itu. Untuk sementara, keringin baju lo di balkon situ. Daripada terus pake baju itu, lo malah jadi sakit. Sekarang gue ke garasi dulu, tas lo masih di mobil gue. Sekarang lo ganti gih. Selesai ganti, lo istirahat..,” ujar Deva lalu mengusap-usap kepalaku dan keluar kamar.
Deva. Dia adalah cinta pertamaku, pacar pertamaku dan mantan pertamaku. Yah, mantan. Itulah alasannya kenapa dari tadi aku selalu berkata “dulu”. Aku mengenalnya saat aku dan dia duduk di bangku SMA. Dan kami berpacaran di pertengahan tahun pertama. Kata orang jawa, “tresna jalaran saka kulina” dan itulah yang terjadi padaku dengan Deva. Tapi itu semua hanya sebentar dan semuanya berakhir dengan cukup menyakitkan.
Aku berdiri dari tempat tidur. Aku membuka lemari dan mencari satu dari tumpukan piyama dan baju yang ada di dalamnya. Dan pilihanku jatuh pada piyama biru berhias ombak dan rumput laut. Aku masuk ke kamar mandi. Menyalakan kran air hangat dalam bathtub. Menanggalkan semua pakaianku dan berendam. Aku sedang tidak mampu berpikir. Pikiranku seperti benang kusut. Aku menenggelamkan seluruh tubuhku, berharap beberapa pikiranku yang berat menguap. Tapi meskipun beberapa masalah perlahan menguap, namun aku masih bertanya-tanya, gimana Deva ada di jalan itu? Seakan dia datang, dikirim hanya untuk menolongku. Ada tanda tanya besar bersarang di kepalaku. Kenapa aku dipertemukan lagi dengan Deva?
Aku memunculkan kepalaku ke permukaan. Aku mulai susah bernafas. Dan aku mulai berpikir lagi. Terus terang, udah setahun lebih aku nggak ketemu lagi dengan dia. Bukan karena setelah kami putus, aku dan dia musuhan dan nggak mau ketemu, tapi setelah hari kelulusan itu, aku udah nggak ngeliat Deva lagi. Aku mulai sibuk ngurusin kuliah, tapi entah dengan Deva. Kuliah kah? Kerja? Atau hanya mondar-mandir keluar-masuk rumahnya yang besar ini? Entahlah, aku udah nggak pernah dengar kabarnya sejak lulus.
Setelah merasa mendingan, aku keluar dari rendaman, mengeringkan tubuhku dengan handuk, membuka kran pembuangan dan mengenakan piyama biru tadi. Aku mendengar grendel pintu terbuka. Perlahan aku keluar dari kamar mandi. Deva sepertinya terkejut tapi dia mencoba mengontrol emosinya. Dan dia terus menatapku.
“Ini tas lo Sha. Lo udah mendingan?,” tanyanya sambil tersenyum.
Aku hanya tersenyum. Aku berjalan menuju balkon untuk menjemur bajuku seperti usulannya. Deva menghampiriku. Aku mencium aroma Hugo XY. Ternyata ada satu hal yang berubah dari dia. Seleranya. Dulu, favoritnya adalah Casablanca Homme. Mungkin pacarnya yang sekarang menyukai parfum Hugo XY itu.
“Gue kangen lo Sha,” ujarnya begitu tepat berdiri di belakangku.
Aku menoleh. Kaget. Tapi aku berusaha menjaga emosiku. Entah kenapa degup jantungku terasa lebih cepat dari biasanya ketika berada sedekat ini dengannya. Namun aku masih mampu tersenyum.
Thanks Dev, lo udah nolongin gue. Sorry kalo gue ngerepotin lo,” ujarku berusaha mengalihkan pembicaraan.
Deva berjalan menuju pagar balkon dan berdiri disampingku, namun pandangannya lepas. “Nggak perlu say thanks ke gue. Gue ikhlas nolongin lo. Tadi juga kebetulan lewat. Lo juga nggak perlu ngerasa ngerepotin gue karena lo nggak ngerepotin sama sekali,” sahutnya tanpa menatapku dan masih memandang hujan.
Ya Allah, Deva sama sekali nggak natap aku. Apa ucapan kangennya tadi hanya untuk basa-basi? Apa itu hanya untuk membuatku besar kepala? Kenapa dia berbicara tanpa menatapku? Apa dia benar-benar membenciku? Tapi kenapa dia menolongku? Dia bilang dia ikhlas dan dia kangen sama aku? Deva, apa kamu mulai mencintaiku? Sampai sekarang aku masih belum ngerti, apa yang ada di benakmu Dev.
“Dev...,” aku mencoba membuka obrolan.
“Hm...,” hanya itu sahutannya.
“Dev, lo masih ngebenci gue? Kalo iya, kenapa lo tolongin gue? Kenapa lo nggak ngebiarin gue mati kedinginan?,” aku menanyakan sesuatu yang aku takutkan.
Deva menoleh heran. Dahinya mengerut tak mengerti. Mungkin dia kaget dengan pertanyaanku. Tapi aku harus dapatin jawabannya.
“Kenapa lo mikir gitu Sha?,” tanyanya.
“Hh..., mungkin ajah. Karena mata lo nggak bisa bohongin gue,” aku berpendapat.
“Mata gue? Maksud lo?,” tanyanya nggak ngerti atau pura-pura nggak ngerti.
“Lo ngomong sama gue tapi yang lo pandang bukan gue, malah hujan. Lo benci kan sama gue?”
“Sha, gue nggak mandang lo, bukan berarti gue benci sama lo. Gue Cuma...,” Deva nggak ngelanjutin omongannya. Mungkin dia memang membenciku. Haduh..., harusnya aku tahu itu dan nggak ngarepin dia.
“Udahlah Dev, gue tau kok lo ngebenci gue. Lo nggak perlu ngejelasin apapun. Gue ngerti kok. Sekali lagi, thanks lo udah nolong gue malam ini dan udah ngizinin gue nginep di kamar tamu. Gue janji, setelah baju gue kering besok pagi dan badan gue pulih, gue bakal langsung pulang kok. Lo juga nggak perlu repot-repot nganterin gue. Gue bisa sendiri,” ujarku lalu berjalan menuju tempat tidur, merebahkan diri.
Ada apa denganku?? Mungkinkah perasaan itu masih terjaga utuh di hatiku? Kukira aku mampu ngelupain Deva. Tapi kenapa ketika aku bertemu dia, kejadiannya malah kayak gini?? Nggak! Udah cukup dia pernah buat aku sakit hati dan aku nggak mau disakitin oleh orang yang sama lagi.
Deva membuntuti langkahku. Dia duduk di pinggir tempat tidur dan berkata, “Sha, gue cuma nggak sanggup kalo ngeliat mata lo.”
“Maksud lo?,” aku bener-bener nggak ngerti.
“Gue...gue kangen lo Sha. Sejak kita lulus, gue nggak pernah ketemu lo lagi. Dan gue masih nggak percaya kita sekarang ketemu, bahkan gue ngobrol sama lo sekarang. Waktu memang sebuah misteri,” jawabnya.
Terkejut. Satu kata itu yang mampu mengekspresikan sikapku. Namun aku masih meredam hatiku. Aku nggak boleh besar kepala dan ke-GR-an. Jangan terlalu ngarep Asha! Warningku dalam hati. Aku emang nggak boleh berharap lagi. Mungkin Deva hanya kangen ajah.
“Dev, lo bisa tinggalin gue? Gue pengen istirahat. Capek. Sorry kalo kesannya gue ngusir lo,” pintaku pada Deva sambil menarik selimut dan membelakangi Deva.
Aku masih mampu mendengar desah nafasnya yang panjang. Nggak lama, aku mendengar pula derap kakinya yang perlahan menjauh dan diakhiri dengan suara pintu kamar yang tertutup. Deva udah keluar. Aku masih unbelievable dengan ucapannya. Aku masih butuh waktu untuk mencerna peristiwa hal ini. Aku memejamkan mata berusaha menahan air mataku. Maafin aku Dev, sekarang semuanya udah terlambat untuk diperbaiki. Dan aku pun terlelap berhiaskan air mata jatuh ke pipiku.

*to be continued*

0 comments:

Post a Comment