“Serius lo Sha?,” tanya Dego kaget mendengar ceritaku tentang
pertemuanku dengan Deva begitu aku sampai di rumahnya. Syukur deh, Velo belum
dateng.
Dego adalah sahabatku dari kecil. Karena Bunda dan Mami Dego juga
bersahabat. Bahkan terkadang, dia udah kayak saudara buat aku. Mungkin karena
aku anak tunggal. Dia tahu banget siapa aku luar dalem dan begitu pula
sebaliknya.
“Hu’um. Terus gue mesti ngapain sekarang? Maaf juga ya Go, kalo
gue tadi bilang ke Velo minta jemput di rumah lo,” ujarku ngerasa nggak enak.
“Udah, minta maaf mulu. Lo udah nggak ada perasaan apa-apa lagi
kan sama Deva? Ato jangan-jangan...,” Dego nggak ngelanjutin ucapannya tapi
terus melirik curiga padaku.
“Emm, justru itu Go. Gue jadi gimanaaa gitu gara-gara kejadian
pagi ini. Waktu gue natap mata dia tadi, gue bisa ngerasain kalo dia mulai
cinta sama gue. Tapi gue juga sadar kalo gue udah jatuh cinta sama Velo. Gue
nggak pengen ngelepas Velo. Gue nggak mau kehilangan cinta dari cowok sebaik
Velo, Go. Gue bingung. Nggak tahu deh mesti ngapain. Kalo lo jadi gue, lo bakal
ngapain?,” ujarku.
“Lo belum cerita ke Velo kan?,” Dego yang ditanyain balik nanya ke
aku. Ealah Go..
“Belum. Gue kan belum ketemu dia. Tapi kalo pun ketemu, gue masih
nunggu waktu yang tepat buat ceritain semuanya. Nurut lo gimana?,” tanyaku lagi
meminta pendapat.
“Hm, bener Sha. Untuk sementara, lo jangan cerita apa-apa dulu.
Gue sependapat sama lo. Lo mesti cari timing
yang tepat. Dan itu bukan saat ini.”
Terdengar deru motor Velo. Dia udah dateng. Aku mendengar derap
kakinya yang setengah berlari masuk ke ruang keluarga rumah ini. Yaa, aku udah
menganggap rumah Dego seperti rumahku sendiri, begitu pula Velo dan tentunya
Dego sama sekali nggak keberatan. Aku memberinya senyuman dan yang aku dapat
adalah pelukan hangat serta cium sayang di keningku.
“Sayang..kamu kemana ajah sih? Aku tuh khawatir banget sama kamu.
Apalagi Bunda. Kamu nginep di rumah temen kamu yang mana? Semaleman, Bunda
telponin semua temen kamu, tapi beliau bilang kalo temen-temen kamu nggak ada
yang tahu kamu dimana. Kamu nggak kenapa-napa kan Yang?,” tanya Velo
bertubi-tubi sambil terus menatapku tanpa melepas pelukannya.
Aku masih terus tersenyum. Sikapnya yang sangat khawatir
terhadapku adalah salah satu yang paling aku sukai darinya. Aku menurunkan
tangannya yang memeluk erat pinggangku. Aku berbalik membelakanginya dan
memosisikan dia memelukku dari belakang. Aku melihat Dego. Mengisyaratkan mata
agar dia pergi sebentar untuk meninggalkanku, berdua Velo.
Dego sangat mengerti. Dan dia pamit pergi. Setelah yakin dia
pergi, aku mulai menjawab pertanyaan Velo sambil bergelayut manja.
“Yang.. kok nanyanya banyak banget? Aku kan jadi bingung mau jawab
yang mana,” protesku manja sambil memainkan jemarinya.
“Heem, iya..iya..maaf ya? Ya udah, aku tanya satu-satu deh. Kamu
kemana ajah?”
“Aku nginep di rumah temenku Yang. Di rumahnya Maia,” jawabku
berbohong.
“Bener di rumah Maya? Semalem, Bunda cerita sama aku, beliau
bilang beliau sempet nelpon Maya tapi dia nggak tahu kamu dimana,” tanya Velo
mengerutkan kening. Entah bingung atau curiga padaku.
Aku sempet kaget. Aduh..! mati deh aku. Eem, alasan apa ya aku?
Uhm, pinjem nama Dego lagi deh buat tameng.
“Em, emangnya Bunda telpon Maia yang mana?”
“Lho, ya Maya temen kuliah kamu. Emangnya ada Maya lagi?,”
tanyanya bingung.
“Sayang.. itu kan Maya yang pake huruf “Y”. Kemarin aku nginep di
rumahnya Maia, pake huruf “I”. Dia temen SMA-ku. Dia dulu mantannya Dego,
hehe..,” ujarku. Semoga dia percaya.
“Uhm, gitu ya? Ya udah, lain kali kalo nggak pulang kasih kabar
ya? Biar Bunda nggak bingung nyari’in kamu.”
Dia sama sekali nggak curiga. Velo, sebaik inikah hati kamu?
“Iya.. abisnya waktu itu kita kan nggak pulang bareng. Jadi aku
maen ajah ke rumah temen lamaku,” ujarku sedikit menyalahkannya.
Memang. Sore itu, aku dan Velo ada ribut kecil. Tapi setelah itu,
kami baikan. Namun, karena perselisihan itu, kami nggak pulang bareng. Ya,
setiap aku ribut dengan Velo, aku selalu butuh waktu untuk sendiri dulu.
Introspeksi diri. Siapa yang salah dan siapa yang benar diantara kami. Setelah
tenang, semua kembali seperti biasanya.
Sepertinya Velo ngerasa bersalah. Kemudian dia menarik tubuhku
lebih dalam ke pelukannya. Diletakkan kepalanya tepat di atas pundakku.
Mengecup pelipisku. Sedikit geli, tapi aku nyaman. Velo selalu melakukannya
untuk mengutarakan maaf, lalu berkata.
“Maafin aku ya Yang. Aku akuin, waktu itu emang salahku. Aku
terlalu sibuk sampai-sampai aku nggak ada waktu buat kamu. Begitu kamu minta
waktu sebentar dengan halus, aku malah ngebentak kamu. Maaf ya Sha.. seandainya
waktu itu kita nggak ribut, kita pasti pulang bareng dan nggak buat Bunda kamu
sekhawatir semalem.”
Seandainya kita nggak ribut, aku nggak akan ketemu Deva, Vel.
Gumamku dalam hati. “Nggak pa-pa Yang. Aku juga salah kok,” ujarku kemudian
mencium pipinya.
“Yang, pulang yuk? Kasihan Bunda, pasti udah kangen banget sama
aku, hehe.. Oiya, kamu tadi udah pamit Mama kan? Entar Mama nyari’in kamu juga
lho,” sambungku mengajaknya pulang.
“Udah dong. Tadi, waktu aku telpon kamu, aku masih dirumah. Abis
pamit Mama, aku ke rumah kamu dulu, ngabarin Bunda. Terus langsung jemput
tunanganku yang satu ini. Ya udah yuk pulang.”
“Tunangan yang satu? Tunangannya banyak ya? Hem..,” protesku
dengan nada canda.
Velo hanya tersenyum nakal dan mengecup keningku. Dia tahu aku hanya
bercanda. Velo melepas pelukannya dan aku mengambil tas. Aku mencari Dego untuk
pamit pulang. Kemudian kami pulang.
*to be continued*
0 comments:
Post a Comment