Aku telah mengenakan kaos putihku yang semalaman ku jemur. Belum
begitu kering, hanya bagian lengan yang masih terasa mamel. Sesuai janjiku, hari ini aku akan pulang. Aku nggak mau
terlalu lama di rumah ini. Pertama, aku nggak mau ngerepotin orang yang ada di
rumah ini. Kedua, aku nggak nyaman berlama-lama di rumah ini, terlalu sakit
buat aku. Dan lagi, sepertinya Deva nggak berkenan dengan keberadaanku di sini.
Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku harus cepet-cepet pergi. Aku
mengambil tas dan bergegas keluar, tapi di depan pintu seorang perempuan paruh
baya telah menungguku.
“Maaf Non, kalau saya mengagetkan. Den Deva meminta saya untuk
mengajak Non sarapan. Non sudah ditunggu Den Deva di ruang makan. Mari Non..,”
ujarnya sambil berjalan mendahuluiku.
Sepertinya aku sangat mengenal dia. Yah, dia kan pembantu
sekaligus yang merawat Deva dari kecil. Tapi aku lupa siapa namanya. Hh,
sudahlah. Sekarang apa yang harus kulakukan? Apa aku mengiyakan ajakan ini atau
aku langsung pergi? Deva, aku sama sekali nggak ngerti maksud kamu. Apa kamu
masih mengharapkanku? Tapi kalau iya, kenapa bukan kamu sendiri yang datang
menghampiriku, mengajakku sarapan pagi ini? Namun, dengan berat hati aku turun
menerima ajakannya.
Deva sudah menungguku di ruang makan. Dia tersenyum menatapku. Aku
diam. Entah apa aku harus membalas senyumnya atau hanya bersikap dingin nggak
nanggepin dia. Aku pengen ngelupain yang dulu, karena dengan mengingatnya akan
semakin menyakiti hatiku. Aku nggak mau membalas senyumannya. Tapi bibirku
seperti punya otak sendiri, ia menyunggingkan senyuman. Bodoh! Asha, ada apa
denganmu? Tanyaku dalam hati.
“Pagi Sha,” sapa Deva ketika aku telah berdiri disamping meja
makan.
“Pagi,” ujarku dan duduk.
Deva meminta perempuan paruh baya tadi untuk kembali ke dapur.
Sebenarnya aku juga pengen ngucapin makasih padanya dan menyebutkan namanya.
Tapi aku bener-bener lupa, namun begitu aku mendengar Deva berujar, “Makasih ya
Mbok,” aku baru teringat, nama perempuan itu Mbok Yah.
Aku dan Deva sarapan dalam diam. Nggak ada obrolan, nggak ada
tatapan, yang ada hanya denting sendok dan garpu beradu dengan piring dan
makanan di dalamnya. Sepertinya suasana ini menjadikan kami berdua canggung.
Apa benar sudah nggak tersisa cinta diantara kami? Entahlah hanya waktu yang
mampu menjawabnya.
Usai sarapan, aku mengambil tas yang tadinya ku letakkan di kursi
sebelahku. Ketika aku berdiri dan beranjak pamit untuk pergi, Deva mencekal
tanganku.
“Sha, gue mau ngomong,” ujar Deva.
Ya Allah ya Tuhanku, kenapa ini harus terjadi sekarang? Kenapa
baru saat ini? Kenapa aku masih mampu merasakan getaran ini? Jangan ya
Allah..aku nggak mau sakit hati lagi dan nggak mau menyakiti hati orang lain.
Aku menatap Deva, berusaha tepatnya. Tapi karena tatapannya lebih tajam, aku
nggak sanggup ngelawan hingga aku menunduk.
“Masih ada yang perlu diomongin?,” tanyaku dan aku pun duduk
kembali.
Deva mendekatiku. Dengan terus menggenggam tanganku, dia terus
memandangku dengan lembut. Dia mulai berbicara, “Gue kangen lo Sha, gue ngerasa
kalo gue masih sayang sama lo. Semalem, jujur, gue nggak bisa tidur mikirin lo.
Gue kehilangan lo banget Sha.”
Aku nggak percaya omongan dia. Aku terlanjur kecewa. Aku lepas
kendali dan emosi.
“Masih sayang sama gue? Masih lo bilang? Nggak usah ngibul Dev!
Bukannya dari dulu lo nggak pernah sayang sama gue. Lo udah nyakitin gue. Lo
ngecewain gue Dev. Belum cukup lo buat gue sakit hati?? Belum puas?! Lo
tinggalin gue, lo nggak ngasih penjelasan ke gue sama sekali dan sekarang lo
bilang lo masih sayang sama gue dan kehilangan gue?,” aku lepas kendali.
“Gue.. okay, gue salah. Tapi setelah gue mutusin pergi, gue
ngerasain kalo gue mulai...mencintai lo,” ujar Deva berusaha meyakinkanku. Deva
semakin mendekat dan tangannya mulai membelai wajahku.
Aku menghela nafas. Mencoba mengontrol emosiku. Hh.., apa yang
harus aku katakan sekarang? Apa aku masih mencintainya? Apa aku bisa menerima
dia hanya karena dia telah mengatakan bahwa dia mencintaiku? Nggak! Semuanya
terlambat. Saat ini aku udah jadi milik orang lain. Nggak sepantasnya aku
seperti ini. Velo. Cowok yang selama ini selalu mengisi hari-hariku. Nggak
pernah sekalipun dia menyakiti hatiku. Bahkan baginya, senyumku adalah
hidupnya. Belum pernah aku menemukan cowok seperti dia. Dia tulus dan sangat
menyayangiku. Meskipun awalnya aku menjadikan dia sebagai pelarian, tapi
sekarang aku sadar bahwa aku mulai mencintainya, mencintai Velo. Tapi kenapa
aku harus dipertemukan dengan Deva? Ya Allah, aku harus apa? Berikan aku
petunjukMu.
“Sha?,” panggil Deva.
Aku tersentak, tapi nggak ada pilihan. Aku harus ngomong.
“Dev, bisa tolong jauhin tangan lo dari wajah gue dan lepasin
genggaman lo dari tangan gue?,”pintaku.
“Kenapa? Apa gue udah nggak berhak untuk sekedar nyentuh dan
genggam tangan lo?”
“Sorry. Tentang semua
ucapan lo tadi, gue cuma bisa bilang...terlambat Dev. Semua udah terlambat.”
“Terlambat? Maksud lo Sha?,” tanya Deva, tapi ketika aku akan
menjawab tanyanya, ia udah menemukan jawaban itu sendiri dan berujar, “Ooh,
cincin ini yang ngebuat semuanya terlambat?,” ujarnya begitu mengetahui sebuah
cincin berhias huruf “V” mini melingkar di jari manis tangan kiriku.
“Lo udah married?,” sambungnya.
Aku menarik tanganku yang sedari tadi belum dilepasnya juga.
“Tunangan tepatnya. Sebulan yang lalu. Dan gue ngerasa ucapan lo
tadi percuma dan terlambat.”
“Nggak Sha. Lo salah. Gue nggak terlambat. Nggak ada kata
terlambat dalam kamus gue. Lo baru tunangan. Lo belum nikah. Sebelum ada janur
ngelengkung di rumah lo, gue bakal berusaha dapetin lo lagi Sha. Gue nggak
perduli kalo itu artinya gue ngerebut tunangan orang,” ujarnya masih berusaha
santai dan meredam emosinya.
Aku terkejut. Apa yang ada di pikirannya? Apa Deva udah kerasukan?
Jangan buat ini semakin rumit Dev! Aku nggak mau kamu ngelakuin hal itu. Ini
sia-sia dan percuma. Nggak ada gunanya Deva. Jangan nekat! ujarku dalam hati.
“Lo ngomong apa sih Dev? Lo udah gila? Gue udah tunangan dan lo
masih maksa? Terus, kemana ajah lo waktu itu? Lo buat gue sakit hati, lo bikin
gue nangis, lo ngakhirin hubungan kita sepihak, lo pergi gitu ajah dan lo nggak
ada kabar sama sekali. Setelah hari kelulusan waktu itu, lo udah nggak
keliatan. Gue kirim e-mail, tapi
nggak ada satu pun yang lo bales. Gue berusaha telpon lo, hanya untuk tahu
kabar lo, tapi nomor lo nggak aktif. Di YM, BBM, lo offline terus. Bahkan facebook-lo deactivated kan? Gue juga nggak mungkin nyari lo ke rumah lo ini
karena gue nggak mau cari masalah. Gue udah kehabisan akal, gimana caranya
ngehubungin lo cuman untuk dapetin penjelasan. Sampai akhirnya, tunangan gue
hadir dalam hidup gue dan semuanya berubah. Terus kenapa Dev, kenapa baru
sekarang lo muncul lagi? Kemana lo selama ini? Kemana Deva? Kemana? Jawab gue
Dev!,” cerocosku panjang lebar pada Deva sambil berusaha menahan tangisku namun
aku nggak mampu.
Entah apa yang ada di pikiran Deva sekarang. Tiba-tiba dia
merengkuhku dan memelukku dengan begitu erat. Aku mampu merasakan perasaannya
yang hangat. Apa ini cintanya? Jujur, aku merindukan pelukan ini. Sangat
merindukannya. Tapi aku sudah terikat dengan yang lain. Nggak mungkin aku
seperti ini. Aku udah nggak tahu apa
yang harus aku lakukan. Aku terlanjur kecewa padanya. Kenapa kamu dulu
tinggalin aku dengan cara seperti itu Dev? Itu nyakitin aku banget. Dan
sekarang, kenapa kamu muncul lagi dengan cara seperti ini?
“Lepasin gue Dev,” pintaku lirih. Ingin segera mengakhiri
pertemuan ini.
Deva hanya diam, nggak bergeming.
“Dev, tolong. Gue mohon, lepasin gue,” kali ini aku sedikit
mempertegas permintaanku.
Perlahan pelukannya terlepas. Tapi dia masih menggenggam tanganku.
Meremas jemariku. Deva, tolong jangan seperti ini Dev. Kamu buat aku semakin
bimbang.
“Dev, tolong ja..,” belum usai aku berujar, Deva meletakkan
telunjuknya tepat di bibirku.
“Sssshht.., Sha, aku mohon, jangan minta aku untuk ngejauh dari
kamu. Jangan bilang kalo aku udah ganggu kamu. Karena jujur, justru kamu yang
udah ganggu hidup aku Sha. Sejak aku jauh dari kamu, aku sadar dan ngerasa kalo
aku kehilangan kamu,” ujar Deva yang mulai menggunakan kata “aku”-“kamu”.
“Tapi Dev, gue nggak bisa. Lo harus tau posisi gue sekarang. Gue
udah tunangan dan lo nggak mungkin bisa jadi’in gue milik lo lagi. Udah
terlambat Deva. Terlambat.”
“Nggak Sha! Udah aku bilang, nggak ada kata terlambat dalam
kamusku. Aku akan ngerebut kamu dari tunangan kamu. Setelah itu kita bisa buka
lembaran baru dalam hubungan kita, Sha. Aku janji nggak akan nyakitin kamu
lagi.”
“Cukup Deva! Biarin gue jalani hidup gue yang sekarang. Hubungan
kita udah kelar! Lo masa lalu buat gue. Masa lalu yang indah tapi juga pahit
buat gue. Gue nggak mau mengulang kepahitan itu lagi. Sakit Deva! Sakit! Udah
cukup!,” ujarku sambil mulai terisak. Aku menangis. Bodoh! Aku menangis
untuknya, lagi!
Deva mengangkat wajahku yang mulai tertunduk karena menangis.
Mengusap air mataku. Mengangkat daguku untuk menatap mataku, dan dia berkata,
“Sha, ssh, jangan nangis ya? Aku nggak bisa liat kamu nangis. Sekarang liat
mataku, ada yang pengen banget aku tanyain sama kamu. Tapi aku minta, terus
tatap mataku ya? Jangan alihin pandangan kamu kemana pun. Aku mohon,” pinta
Deva sambil terus menatapku dan memeluk pipiku.
Aku hanya mengangguk dan terus menatap matanya seperti pintanya.
Ya Allah, aku merindukan mata itu. Mata yang ada di depanku. Aku masih mampu
melihat cinta di matanya. Kenapa? Apa aku masih mencintainya? Nggak! Aku nggak
boleh ngerasain ini lagi.
“Sha, apa kamu masih mencintai aku?,” tanya Deva.
Aku terkejut dengan pertanyaannya. Sama sekali nggak tahu harus
jawab apa. Aku bingung. Aku udah tunangan dengan Velo. Aku udah mulai merasakan
kalo aku benar-benar jatuh cinta, untuk kali kedua, pada Velo. Tapi sekarang,
cinta pertamaku berdiri di hadapanku. Memohon cintaku, menanyakan perasaanku.
Dan parahnya, dari tatapannya aku mampu merasakan, melihat ada cinta di sana
untukku. Ya Allah, harus bagaimana aku ini?
“Sha, aku tanya sekali lagi, apa kamu masih mencintai aku?,”
tanyanya mengulang.
“Tolong jangan paksa aku untuk ngejawab pertanyaan kamu,” ujarku
sambil memejamkan mata.
“Sha, aku bilang tatap mataku. Aku minta kamu jujur! Bukan cuma
sama aku, tapi sama diri kamu sendiri juga. Tolong Sha, jujur sama aku.”
“A..aku...,” belum usai bicara, hape-ku berdering. Nada dering
khusus untuk Velo terdengar di telingaku. Dengan segera aku mengambil hape-ku
dari tas dan menekan tombol “answer”.
“Halo..,” jawabku sambil perlahan menjauh dari Deva.
“Alhamdulillah.... sayang.., kamu dimana? Kata bunda, semalaman
kamu nggak pulang. Kamu baik-baik aja kan?,” tanya suara bass Velo dengan nada
khawatir.
“Iya Sayang, aku nggak pa-pa kok. Semalem aku nginep di rumah
temen. Aku baik-baik aja. Maafin aku ya, udah buat kamu khawatir,” jawabku
dengan setengah berbohong. Maafin aku Vel kalo aku bohong, gumamku dalam hati.
“Ya udah, nggak pa-pa. Nggak perlu minta maaf. Kalo aku khawatir,
itu wajar. Apalagi Bunda. Dari kemaren, beliau telpon aku terus nanyain kamu.
Sekarang kamu dimana? Di rumahnya siapa? Aku jemput ya?,” ujar Velo.
“Ehm..., aku di rumahnya Maia. Bentar lagi aku pulang kok. Kalo
kamu emang mau jemput, kamu jemput aku di rumahnya Dego ajah, soalnya aku juga
ada perlu sebentar ama Dego. Ada barang yang mau aku ambil. Nggak pa-pa ‘kan
Yang?,” tawarku.
“Rumah Dego ya? Ya udah, aku jemput setengah jam lagi di rumah
Dego. Nggak kelamaan kan Yang?”
“Nggak Sayang. Ya udah, aku tunggu ya.. ati-ati, jangan ngebut
lho..,” ujarku.
“Iya Sayang.. Love you, honey...mmuah.”
“Love you too, hone...mmuach,”
sahutku dan menutup telpon itu.
Ya Allah, untuk kali pertamanya aku berbohong pada Velo. Maafin
aku Vel, tapi aku akan ceritain semuanya ke kamu kalo waktunya udah tepat.
Aku menoleh pada Deva. Menatapnya sejenak. Deva pun sepertinya
sedari tadi terus menatapku. Bahkan di saat aku sedang menerima telpon dari
Velo. Masih melekat erat di otakku sebuah pertanyaan tentang keberadaannya
dalam hidupku lagi. Tapi aku nggak bisa terlalu lama ada disini. Velo akan
segera menjemputku di rumah Dego. Aku harus segera pergi dari sini.
“Maaf Dev, gue harus pergi sekarang. Bunda udah khawatir sama gue.
Gue harus pulang. Thanks, lo udah
nolong gue semalem. Gue yakin suatu saat, lo pasti dapet balesan yang setimpal
atas kebaikan lo ke gue. Dan gue harap lo bisa ngelupain gue. Ngelupain
hubungan kita dulu dan buang jauh-jauh perasaan lo itu sebelum semuanya semakin
rumit. Permisi,” pamitku pada Deva dan keluar dari rumahnya.
Aku berlari menjauh. Dari jauh, samar aku mampu mendengar sahutan
Deva yang setengah berteriak. “Kamu harus tahu Sha, aku mencintai kamu dan aku
akan ngerebut kamu dari tunangan kamu,” teriak Deva.
*to be continued*
0 comments:
Post a Comment