Thursday, November 1, 2012

Vedway - 13

Tepat pukul 4 sore, Alry tiba Mc Cafe. Ia masuk dan celingukan. O iya, gue kan nggak tau tampang tuh cowok, gimana gue bisa nyari dia? Gumam Alry. Alry udah bersiap mengambil hp sampai ada cowok yang mengagetkannya dari belakang.
“Cewek... udah lama?,” tanya cowok itu.
Setelah di toleh, ternyata...

“Uh, gue kira siapa? Lo ngagetin aja Ndra.” ujarnya sambil mengelus dada.
“Sori deh kalo aku ngagetin kamu. Lagian kamu celingukan nggak jelas gitu. Oh ya, mana tuh cowok? Belum nongol ya dari tadi?,” tanya Fandra sambil menggantungkan tangannya di bahu Alry.
Alry yang menyadari langsung berkata, “Ndra, lo ngapain nggantung tangan lo ke bahu gue?”
“Lho kamu itu gimana sih? Aku kan cowok kamu. Hehehe...”
“Ih, kan Cuma pura-pura kali. Lagian, cowok itu juga belum keliatan kan?,” bisik Alry.
Dengan perlahan Fandra menurunkan tangannya dan berkata, “Emang tuh cowok gimana sih? Aku bantu nyari’in deh,” Fandra ikut celingukan.
“Hehe…
sebenernya nggak tau juga sih. Kan baru bakal ketemu hari ini,” jawab Alry meringis.
“Ya… kamu tuh gimana sih,” ujar Fandra sambil mengacak-acak rambut Alry yang panjang itu, “Kalo nggak tau orangnya, ya udah akting sekarang aja. Kali aja orang itu udah ngamatin kita dari tadi,” ujarnya lagi sambil menggantungkan tangannya lagi dan tersenyum jail.
“Idih, maunya. Tapi iya juga sih. Dia udah tau gue tapi gue nggak. Tapi lo nggak curi kesempatan kan?,” tanya Alry sambil merapikan rambutnya dengan bantuan Fandra dan memicingkan mata.
“Ya ampun. Ngapain juga aku cari kesempatan sama pacar orang. Mau di bantuin nggak sih? Kalo nggak ya udah, aku pulang aja.”
“Yee.. ngambek. Iya iya… sekarang aku mau telpon dia. Nanya posisinya dimana.”
Alry memijat-mijat keypad hp-nya dan menekan call.
“Halo.. Bram, kamu udah dateng?.............Dimana?..........Ya udah deh, aku ke sana,” ucapnya menutup telpon.
“Gimana Ry?,” tanya Fandra.
“Dia udah di dalam. Meja paling pojok katanya. Ke sana deh.”
Fandra dan Alry segera menuju ke meja dimana Bram telah menunggu mereka. Setelah tiba, Alry melihat seorang cowok dengan kaos casual biru gelap dirangkap jaket buntung putih dan jins army hitam dengan laptop dihadapannya. Dengan tanpa komando, Fandra menggenggam tangan Alry dengan lembut tetapi erat. Alry pun dengan segera menyapa Bram yang sedang sibuk dengan laptopnya.
“Maaf, Bram ya?,” sapa Alry.
Cowok yang sedari tadi sibuk dengan laptop,  kini memalingkan pandangannya ke Alry dan Fandra. Kemudian tersenyum.
“Mai. Duduk gih. Dan lo?,” sahut Bram lalu menyipitkan mata dan bertanya sinis pada Fandra.
“Gue Fandra, cowoknya,” jawab Fandra tenang.
Bram hanya tersenyum tipis dan mempersilahkannnya duduk. Dan obrolan pun dimulai.
“Mau minum apa Mai?,” tawar Bram.
“Tolong, jangan panggil aku Mai. Panggil aja Alry. Aku lebih terbiasa dengan nama itu,” pinta Alry.
“Oke. Mau pesan apa Al?,” tawar Bram mengulangi.
“Apa ya? Yang, kamu minum apa?,” tanya Alry pada Fandra sambil menunjukkan daftar menu.
“Aku terserah kamu aja,” sahut Fandra.
“Kok terserah aku? Kalo gitu aku pengennya kamu yang milih,” ujar Alry tersenyum.
“Ya udah. Sini menunya,” ucap Fandra sambil membelai rambut Alry dan mulai mencari menu yang disukai. Fandra emang nggak banyak tau tentang Alry, tapi seenggaknya kalo milih minuman sih, milih yang umum aja.
“Yang, kalo orange juice aja gimana?,” tanya Fandra.
“Boleh banget. Kamu tau aja sih kalo aku lagi pengen orange juice.”
“Ya tau dong. Masa’ minuman buat cewek sendiri nggak tau. Gemes deh,” ujar Fandra sambil mencubit batang hidung Alry.
Sekilas Bram terlihat nggak suka. Tapi Alry dan Fandra cuek aja. Nggak lama kemudian, Bram berdeham. “Ekhem..”
Setelah ngobrol cukup lama dan agak nggak nyaman, akhirnya mereka menyudahi pertemuan mereka. Bram pun keluar dari cafe terlebih dahulu kemudian disusul Alry dan Fandra.
Karena Mc Cafe ada di dalam mall, jadi Alry sekalian pengen shopping buat keperluan di Bali beberapa hari lagi.
“Ndra, mau temenin gue nggak?,” tanya Alry dengan bahasa yang sudah kembali seperti biasa.
Fandra yang sedari tadi menggenggam tangan Alry pun berhenti dan melepas genggamannya.
“Sori Ry, aku keterusan. Emang ngapain?,” tanya Fandra.
Shopping. Buat ke Bali nanti. Mau nggak?”
“Boleh. Emangnya kamu mau beli apa?”
“Ada deh. Banyak banget poko’nya. Sekarang yuk?”
Fandra hanya mengangguk.
Setelah keluar dari cafe itu, mereka berdua langsung naik ke lantai dua dan tiga. Mereka keluar masuk dari tempat satu ke tempat yang lain. Mereka jadi akrab banget. Bahkan Alry nggak malu untuk minta pendapat Fandra tentang apa aja yang dibelinya. Mulai dari baju, jins dan aksesoris lainnya. Setelah membeli snack di hypermarket, mereka pun beristirahat di salah satu food court.
“Ry, kamu nggak capek? Dari tadi kan kita udah keluar masuk distro, hypermarket,” tanya Fandra dengan nada lelah.
“Capek sih, tapi kalo nggak belanja ini semua, gue ke Bali nggak bawa snack apa-apa dong? Lo sendiri? Gue nggak ngelihat lo beli satu pun barang atau makanan. Padahal kan lo sendiri bilang kalo lo capek.”
“Nggaklah. Nggak sekarang. Toh masih dua hari lagi.”
“Oh... ya udah. Ndra, cabut yuk? Gue udah capek nih. Motor lo tadi di parkir dimana?”
“Di parkiran bawah. Kamu parkir di atas ya?”
“Nggak. Kebetulan gue juga parkir di bawah. Tadi males ke parkiran atas. Soalnya kan Mc Cafe di lantai dasar.”
“Bareng aja ya ke parkirannya. Sekarang turun yuk.”
“He’em. Tapi kaki gue masih capek.”
“Terus? Mau di bopong?,” canda Fandra.
“Nggak deh. Makasih. Gila aja lo. Masa’ di tempat ramai kayak gini lo mau bopong gue. Yang bener aja.”
“Ya udah. Kalo gitu kita pake lift aja. Biar langsung turun ke lift yang deket parkiran.”
“Lift? Tapi......”
“Kenapa?”
Alry ragu. Apa dia udah punya keberanian untuk itu? Sejak kejadian waktu itu, Alry trauma dan parno untuk menghampiri lift. Tapi Alry emang nggak punya pilihan lain selain naik lift.
“Napa Ry? Kamu nggak takut sama lift kan?,” tanya Fandra.
“Ng..nggak kok. Ayo deh, cepetan. Cape banget nih.”
Alry dan Fandra berdiri di depan lift. Menunggu lift itu terbuka untuk mereka. Tak lama, lift itu terbuka. Di dalam lift itu telah ada seorang ibu dengan dua anak kembarnya yang kira-kira umurnya baru 3 tahunan. Melihat dua anak kembar itu, Alry seakan lupa dengan ketakutannya akan lift.
Karena memang udah dasarnya Alry suka dengan anak kecil, jadi begitu dia melihat dua anak kembar itu, dia seakan telah mengenal mereka. Alry meletakkan tas belanjanya di lantai lift.
“Cantik.. Namanya siapa?,” sapa Alry sambil membelai pipi salah satu si kembar.
Si kembar itu menoleh dan tersenyum. Lalu menyahut sapaan Alry.
“Aku Lyna Kak. Kakak siapa?,” tanya bocah itu.
“Namaku Alry. Itu kembaran kamu ya?”
“He’em. Dia adikku, Luna. Luna sini..,” panggil Lyna pada Luna yang terus berdiri disamping Mamanya.
Mama Lyna dan Luna pun ikut menoleh dan tersenyum. Tangannya masih terus digenggam erat oleh Luna. Luna dengan sedikit takut, mendekat ke arah Lyna. Alry hanya tersenyum, kemudian berkenalan dengan mama si kembar.
“Alry,” sapa Alry sambil menjabat tangan mama si kembar. Sekilas, Alry menatap mama si kembar, sepertinya tidak asing.
“Alry? Loe Alry?,” tanya mama si kembar yang memang terlihat masih seumuran dengan Alry dengan terkejut, walau terlihat agak tua karena make-up.
“Iya, siapa ya?”

*to be continued*

0 comments:

Post a Comment