Thursday, November 1, 2012

Vedway - 14

“Loe lupa sama gue? Gue Sassy.”
“Sassy? Sassy... Sassy anak IX-E?”
“Iya, gue Sassy yang waktu itu... maafin gue ya? Gue udah ngerebut Gary dari loe. Gue nggak tau kalo sebenernya waktu itu loe suka sama dia,” ujar mama si kembar yang ternyata ialah Sassy, temen SMP-nya dulu.
“Ya ampun, Sassy? Loe Sassy? Ya ampun gue ampe’ nggak ngenalin lho. Berubah banget. Ini anak loe?,” tanya Alry nggak percaya.
“Iya. Mereka anak gue. Lucu kan?”
“Lucu banget. Umurnya berapa?”
“Tiga tahun Al.”
“Tiga? Tapi loe kan...,” belum usai Alry mengutarakan kejanggalannya, Sassy menyela.
“Seumuran ama loe? He’em, tapi gue udah married bahkan sebelum gue lulus SMP, gue udah ngandung mereka berdua,” sela Sassy dan merangkul si kembar.
“Loe..MBA?,” tanya Alry tak percaya.
Sassy hanya tersenyum. Kemudian, “Ya, gitulah. Panjang ceritanya. Gue sih pengen banget cerita, tapi tar lagi gue udah nyampe di lantai dua. Suami gue nunggu di sana. Gue duluan ya..,” pamit Sassy lalu menggandeng kedua anaknya mendekat pintu lift.
“Dah Kak Alry,” pamit Lyna pada Alry. Alry tersenyum dan mereka keluar lift.
Kini di dalam lift hanya Alry dan Fandra, berdua. Atmosfer diantara mereka berubah menjadi dingin dan sedikit kaku. Ada sedikit rasa canggung diantara mereka. Tapi perlahan Fandra menetralisirkan keadaaan.
“Ry, kok diem aja sih? Oh ya, gimana kabarnya Adin?,” Fandra mencoba mencairkan suasana.
“Hm, A-Adin baik kok. Loe udah jarang main ke rumah dia ya? Kok gue jarang liat loe?,” jawab Alry sedikit gugup.
Mereka mulai bisa mengontrol suasana. Tiba-tiba lampu lift mengerjap-kerjap. Seolah sesuatu yang berat menghantam atas lift, kemudian lampu padam dan lift berhenti. Lift berhenti tapi pintu lift tak terbuka. Liftnya macet.
Muka Alry mulai pucat. Tubuhnya gemetar ketakutan. Bukan untuk pertama kalinya ia terjebak di dalam lift yang macet. Kejadian sepuluh tahun yang lalu masih melekat kuat dalam ingatannya. Sejujurnya, tak ingin ia jatuh di lubang yang sama, tapi kini ia mengalami lagi.
Tubuh Alry mulai melemas dan ia jatuh terduduk. Fandra yang mengetahui itu terkejut dan khawatir. Ia ingin sekedar memeluk untuk menenangkan Alry tapi ia ragu. Tak ayal ia hanya menepuk bahu Alry sembari berkata,
“Ry, kamu nggak pa-pa kan?”
Alry hanya diam. Kedua rahangnya terkatup, giginya menggertak satu sama lain. Tubuhnya mengigil, nafasnya memburu, matanya kosong dan menajam. Fandra semakin khawatir dan tanpa pikir panjang, ia meraih, merangkul tubuh  Alry. Menenggelamkannya ke dadanya yang bidang. Membelai rambut Alry dengan lembut dan tanpa sadar Fandra mencium kening Alry dengan lembut dan dalam. Dipelukkan Fandra, Alry merasa sedikit tenang, seakan ada yang melindunginya. Tangannya yang semula terus mendekap tubuhnya sendiri, perlahan merangkul Fandra, mendekap erat seakan tak bisa lepas.
Cukup lama mereka di dalam lift yang macet itu. Hampir satu jam mereka terjebak. Alry pun tak bisa melepaskan pelukan Fandra. Ia masih terlihat ketakutan. Wajahnya masih memucat. Fandra pun terus mencoba menenangkannya. Alry mulai tenang meskipun tak melepas pelukan Fandra. Kini yang ada di pikirannya hanyalah bayang-bayang semu kejadian itu. Perlahan bayang itu memudar dan ia kembali mengatur nafas. Fandra pun demikian. Semula ia terus memeluk erat tubuh Alry karena ia merasakan bahwa Alry gemetar ketakutan, kini pelukannya melonggar. Setelah merasa Alry mulai tenang, ia merogoh saku celananya untuk mengambil ponselnya dan menelpon bagian resepsionis mall.
Ketika Fandra hendak memencet ’call’ pada layar ponsel, Alry mencekal tangannya.
“Ndra, lo mau ngapain?,” tanya Alry dengan suara lemas.
“Aku mau telpon pihak Plaza Ry. Supaya kita bisa keluar dari lift ini. Dan kamu nggak perlu ketakutan lagi.”
Alry tersenyum. “Nggak perlu Ndra. Gue nggak mau ada orang yang tau kalo kita terjebak di lift ini hanya berdua.”
“Maksud kamu? Kamu nggak mau keluar dari lift ini?”
“Bukan. Tapi gue takut.”
“Takut apa Ry?”
“Kita kejebak di lift ini cuma berdua. Kalo ada orang nyelametin kita dan tau hanya ada gue dan lo di lift ini tanpa ikatan apapun, baik saudara atau suami istri, mereka pasti mikir yang enggak-enggak. Gue nggak mau lo kena fitnah.”
“Terus, kamu mau di sini terus?”
Alry tersenyum lagi. “H-h, ya nggaklah Ndra. Gue juga pengen bisa keluar dari sini. Tapi gue lebih takut dan malu kalo difitnah.”
Fandra diam. Apa yang dikatakan Alry ada benarnya. Tapi kalo terus berpegang pada statement itu, mereka nggak akan bisa keluar.
“Okay Ry kalo itu mau kamu. Tapi kan kita bisa pura-pura jadi adik-kakak. Dan nggak mungkin ada yang tau.”
“Nggak Ndra. Gue udah banyak ngerepotin lo. Jangan minta gue untuk ngerepotin lo lagi. Gue utang budi banyak sama lo.”
Fandra kembali diam. Ia tak lagi memaksa Alry. Mereka berdua terdiam. Akhirnya Fandra mencoba membuka lift itu. Memencet tombol keluar berkali-kali bahkan berusaha memisah pintu lift yang tertutup rapat dengan tangannya. Tapi tak ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Fandra pun bener-bener pasrah. Alry yang sedari tadi duduk di lantai lift, perlahan berdiri. Ia ingin membantu Fandra untuk membuka lift itu.
Tiba-tiba lift berguncang lagi. Alry yang masih belum pulih keseimbangannya, terkejut dan kehilangan keseimbangan. Fandra juga terkejut. Ia menoleh ke Alry dan memegangi Alry. Tubuh Alry ditopang oleh kedua tangan Fandra seolah merangkulnya lagi. Mata mereka bertemu dan saling menatap. Semakin dekat jarak mereka sehingga Alry bisa merasakan Fandra bernapas tepat di hadapannya. Alry memejamkan mata. Situasi itu membuat ia melupakan sejenak semuanya. Ia lupa alasan ia berada di lift itu. Ia lupa dengan siapa ia sekarang. Bahkan ia lupa dengan janjinya pada Chris. Tanpa membuka mata, Alry bisa merasakan bibirnya telah menyatu dengan bibir Fandra. Tapi, seperti tersetrum listrik bertegangan tinggi, ia ingat janjinya dengan Chris. Dengan tiba-tiba ia mendorong tubuh Fandra hingga Fandra terjatuh. Akibat guncangan tadi, lift pun terbuka. Dengan segera Alry mengambil tas belanjanya dan bergegas keluar lift, berlari menuju mobilnya sambil menangis dan meninggalkan Fandra di lift.

*to be continued*

0 comments:

Post a Comment