Alry termenung
di taman. Dia udah nggak peduli dengan ciuman yang terjadi di lift itu. Tapi
yang menjadi pikirannya sekarang, pengkhianatan yang ia lakukan. Pengkhianatan
itu, bukan hanya untuk Chris, tapi untuk Viara juga. Dalam waktu yang
bersamaan, ia telah mengkhianati kekasih dan sahabatnya sendiri. Ia tak tahu
harus menjelaskan apa, kepada siapa, dan bagaimana. Ia benar-benar merasa
sendiri. Ia pun menangis.
“Maafin Chris,
maaf... aku nggak bisa jaga kepercayaan kamu. Hati aku begitu sakit nerima ini
semua. Aku nggak tau gimana harus ngejelasin semuanya ke kamu. Aku udah
ngekhianati kamu. Ya Allah, aku harus gimana?,” isak Alry dalam diam.
Tanpa
sepengetahuan Alry, Wyla udah ada tepat di belakangnya. Wyla pun menepuk bahu
Alry pelan.
“Al..,” sapa
Wyla halus.
Untuk kesekian
kalinya Alry terkejut. Segera ia mengusap air matanya. Ia kenal suara itu,
Wyla.
Wyla hanya
tersenyum. “Aku nemenin kamu. Nemenin sahabat aku yang lagi punya masalah, tapi
egoisnya dia menikmati masalah itu sendiri. Nggak mau berbagi. Dan ngebiarin
semua sahabatnya cuman menebak-nebak masalah dia. Seperti mencari jarum
ditumpukkan jerami. Bahkan sampai rambut ubanan pun, belum tentu jarum itu bisa
ketemu. Hhm, kamu pikir deh, masa’ yang begitu bisa disebut sahabat?”
Alry merasa
kecil. Ia tersindir. Ia malu. Kemudian ia tersenyum.
“Hhm, kamu
nyindir ya?”
“Hehe, merasa
Al? Ya, secara nggak langsung sih. Kamu kenapa? Kok hari ini aku ngerasa kamu lebih
pendiam dari biasanya. Kamu juga sering ngelamun. Kalo kamu punya masalah, kamu
bisa cerita kok sama aku. Yah, mungkin aku nggak bisa sepenuhnya ngebantu, tapi
seenggaknya beban di hati kamu sedikit berkurang. Aku nggak maksa kok Al. Kamu
cerita atau nggak, itu hak kamu. Hak kamu untuk percaya sama orang lain.”
Alry merasa
bersalah. Ia pun memeluk Wyla dan menangis. Ia salah karena merasa sendiri.
Padahal ada sahabat-sahabatnya yang selalu nemenin dia dalam suka dan duka.
“Maafin aku Wyl. Aku bingung. Aku bener-bener ngerasa bersalah. Aku nggak tau
harus gimana. Maaf Wyl,” isak Alry di pelukan Wyla.
Wyla
menenangkan Alry dengan membelai punggung Alry halus. “Udah Al, kamu nggak
perlu minta maaf. Nggak ada yang perlu dimaafin kok. Kamu nggak salah. Sekarang
kamu cerita sama aku, ada apa sebenernya.”
Alry pun
menceritakan semuanya. Dari awal hingga akhir. Sedetail mungkin. Dan Wyla agak
tekejut mendengarnya.
“Ciuman? Kamu
sama Fandra...,” ujar Wyla sedikit berteriak.
Alry hanya
mengangguk perlahan. Ia udah nyangka kalo reaksi Wyla akan seperti itu, atau
bahkan lebih.
“Iya Wyl. Itu
terjadi gitu ajah. Aku ngerasa udah ngekhianatin Chris dan Viara. Aku terus
mikir, gimana kalo aku berhadapan dengan Viara, apa aku berani natap dia. Kalo
Chris nanya, aku nggak tau mesti jawab apa. Apalagi kalo tar aku harus ngadepin
Fandra. Aku malu Wyl. Aku udah ngerasa rendah di mata Fandra. Aku bener-bener
malu.”
“Udah ya Al.
Kamu nggak perlu mikir ampe’ ke situ. Soal Viara, tar aku bantu kamu ngomong
sama dia pelan-pelan. Soal Fandra, coba ajah kamu sedikit ngehindar. Kalo
Chris, aku pikir dulu deh.”
“Thanks ya Wyl.
Kamu udah buat aku sedikit tenang. Seenggaknya tentang Viara. Kalo Fandra dan
Chris, mungkin aku bisa selesai’in dengan caraku sendiri.”
“Bener? Kamu
yakin?”
Alry mengangguk.“Pulang
yuk Wyl. Dah hampir siang nih. Aku lum nyiapin buat ke Bali besok. Lum nge-pack
baju.”
“Ayukz.”
Wyla pun masuk ke mobil Alry. Pasalnya tadi Wyla ngikutin Alry pake’
taxi. Padahal tadi taxi-nya nawarin untuk nunggu, tapi Wyla menolak. Dan mereka
pun pulang untuk menyiapkan hari esok.
0 comments:
Post a Comment